KETIKA Salman Al-Farisi, sahabat yang terkenal dengan idenya untuk membuat parit dalam Perang Khandaq. Rasulullah Saw. mempersaudarakannya dengan Abu Al-Darda’, sahabat beliau dari suku Khazraj. Sebelum memeluk Islam, Abu Al-Darda adalah seorang pedagang. Suatu ketika Salman Al-Farisi berkunjung ke rumah saudaranya yang kelak diangkat oleh Umar bin Al-Khaththab sebagai seorang hakim di Damaskus, Suriah. Kala itu, Abu Al-Darda belum pulang. Begitu dipersilakan masuk ke dalam rumah, dia melihat istri saudaranya tersebut berpakaian lusuh. Melihat hal itu, Salman pun bertanya kepada Khairah, istri Abu Al-Darda’, “Umm Al-Dardasa, kenapa engkau seperti ini?” BACA JUGA Ditolak Dua Sahabat, Dimuliakan Rasulullah “Saudaramu, Abu Al-Darda, kini tak lagi memerlukan dunia,” jawab Umm Al-Darda dengan suara pelan. Ketika Abu Al-Darda datang, makanan pun dihidangkan kepada Salman Al-Farisi. Abu Al-Darda kemudian berkata kepada saudaranya yang lahir di Isfahan, itu, “Saudaraku, silakan nikmati makanan ini sendiri. Aku sedang berpuasa sunnah.” “Saudaraku,” jawab Salman, “aku tak kan makan selama engkau tak makan bersamaku!” Abu Al-Darda pun makan untuk menghormati tamunya. Ketika malam datang dan kemudian semakin kelam, Abu Al-Darda’ bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Melihat hal itu, Salman pun berkata kepadanya, “Saudaraku! Tidurlah!” Abu Al-Darda pun menuruti permintaan saudaranya yang kelak menjadi Gubernur Mada’in Ctesiphon itu. Kemudian, ketika malam semakin malam, Abu Al-Darda bangun lagi untuk melaksanakan shalat tahajud. Melihat saudaranya yang memeluk Islam pada tahun terjadinya Perang Badar tersebut hendak melaksanakan shalat tahajud, Salman sekali lagi mencegahnya dan memintanya tidur. Permintaan itu dipenuhi Abu Al-Darda’ untuk menghormati tamunya. Ketika malam hampir tiba di akhir perjalanannya, Salman Al-Farisi bangun dan berkata kepada Abu Al-Darda’, “Sekarang, mari kita shalat tahajud berjamaah!” BACA JUGA Inilah Keunggulan Para Sahabat Nabi Mereka berdua lantas melaksanakan shalat tahajud berjamaah. Selepas shalat, Salman kemudian berkata kepada Abu Al-Darda’, “Saudaraku! Tuhanmu punya hak yang harus engkau penuhi. Istrimu juga punya hak yang harus engkau penuhi. Karena itu, penuhilah hak masing-masing secara seimbang!” Merasa kurang yakin dengan masukan Salman Al-Farisi, keesokan harinya Abu Al-Darda’ menemui Rasulullah Saw. dan menuturkan hal itu. Mendengar keluhan Abu Al-Darda’ tersebut, beliau berkata, “Abu Al-Darda’ Salman memang benarli. [] Sumber Rumah Cinta Rasulullah/ Muhammad Rofi Usmani/ Mizan/ 2007
Initerjadi pada Salman Al-Farisi. Saat dia berkunjung ke rumah Abu Darda. Begitu datang ke rumahnya Salman disambut oleh istri Abu Darda yang berpakaian lusuh. Salman mencurigai ada sesuatu yang tidak beres pada diri sahabatnya itu. Pada sepertiga malam terakhir Salman yang bangun dan membangunkan Abu Darda untuk salat malam. baca juga: loading...Kisah Abu Darda yang terlalu rajin ibadan sehingga melupakan istri tidak dibenarkan Rasulullah SAW. Foto/Ilustrasi Ist KIsah Abu Darda rajin ibadah sehingga melupakan istri dan membenci harta diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab Ash-Shahabah. Rasulullah SAW tidak membenarkan tindakan Abu Darda itu. Begitu juga Salman al-Farisi ."Wahai Abu Darda sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, badanmu mempunyai hak atas dirimu dan keluargamu istrimu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka, tunaikanlah hak mereka,” ujar Salman menasihati Abu Darda. Baca Juga Abu Juhaifah Wahb bin Abdillah ra mengatakan Nabi Muhammad SAW mempersaudarakan Salman al-Farisi ra dan Abu Darda ra. Setelah itu Salman mengunjungi rumah Abu Darda. Dia melihat Ummu Darda, yakni istri Abu Darda, memakai pakaian kerja yang buruk. “Wahai Ummu Darda, kenapa engkau berpakaian seperti itu?” tanya Salman.“Saudaramu Abu Darda sedikit pun tidak perhatian terhadap istrinya. Di siang hari dia berpuasa dan di malam hari dia selalu sholat malam,” jawab Ummu datanglah Abu Darda. Ia menyiapkan hidangan makanan kepada Salman. “Makanlah wahai saudaraku, sesungguhnya aku sedang berpuasa,” ujar Abu Darda mempersilakan Salman untuk menikmati hidangan itu. “Aku tidak akan makan hingga engkau juga makan,” jawab Salman. Lantas Abu Darda pun ikut malam telah tiba, Abu Darda pergi untuk mengerjakan sholat. Akan tetapi, Salman menegurnya dengan mengatakan, “tidurlah” dan dia pun tidur. Tak lama kemudian dia bangun lagi dan hendak sholat, dan Salman berkata lagi kepadanya, “tidurlah.” Abu Darda pun menurut. Baca Juga Ketika malam sudah lewat Salman berkata kepada Abu Darda “Wahai Abu Darda, sekarang bangunlah.” Keduanya pun mengerjakan selesai sholat, Salman berkata kepada Abu Darda. "Wahai Abu Darda sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, badanmu mempunyai hak atas dirimu dan keluargamu istrimu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka, tunaikanlah hak mereka.”Selanjutnya Abu Darda mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan kejadian tersebut SAW menjawab, “Salman benar.” [HR al-BukhariSangat BijaksanaAbu Darda bernama asli Uwaimir bin Amir bin Mâlik bin Zaid bin Qais bin Umayyah bin Amir bin Adi bin Ka`b bin Khazraj bin al-Harits bin Khazraj. Ada yang berpendapat, namanya adalah Amir bin Mâlik, sedangkan Uwaimir adalah julukannya. Ibunya bernama Mahabbah binti Wâqid bin Amir bin Ithnâbah. Beliau termasuk sahabat yang akhir masuk Islam. Akan tetapi, beliau termasuk sahabat yang bagus keislamannya, seorang faqih, pandai dan bijaksana. Rasulullah SAW mempersaudarakannya dengan Salman al-Fârisi. Nabi SAW mengatakan, “Uwaimir adalah hakîmul ummah seorang yang sangat bijaksana.” Baca Juga Abu Darda mengikuti berbagai peperangan setelah perang Uhud. Adapun keikutsertaan beliau dalam perang Uhud masih juga, tentang penuturan Abu Darda. “Tatkala Nabi diutus menjadi rasul, ketika itu aku adalah seorang pedagang. Aku ingin menggabungkan ibadahku dan pekerjaanku, namun keduanya tidak bisa bersatu. Kemudian aku pun meninggalkan pekerjaanku dan memilih beribadah kepada Allah taala." "Demi Allah, alangkah senangnya seandainya aku memiliki toko di jalan menuju pintu masjid hingga aku tidak meninggalkan sholat. Aku bisa mendapatkan keuntungan empat puluh dinar dan bisa aku sedekahkan semua di jalan Allah SWT.”Oleh Wd Deli Ana Praktisi PAUD [email protected] “ILMU itu luas, sedangkan umur kita pendek. Oleh karena itu, pilihlah ilmu yang sangat kamu butuh kan bagi agamamu dan tinggalkan yang lain.” Sungguh untaian kata penuh hikmah. Sarat akan makna yang diungkap salah seorang sahabat Rasul saw. Siapa lagi kalau bukan Salman Al-Farisi. Namanya terukir dalam sejarah sebagai seorang yang tak kenal lelah berjalan menjumput hidayah. Terlahir di desa Ji’, daerah Isfahan Persia, 1500 kilometer di sebelah timur laut Madinah. Salman kecil tumbuh sebagai pengikut Majusi yang menyembah api. Maklum saja ayahnya tergolong penganut Majusi yang ditokohkan. Namun fitrahnya yang lurus mengantarkan Salman pada pencarian panjang akan kebenaran. BACA JUGA Tiga yang Membuat Salman Al-Farisi Terpingkal-pingkal dan Tersedu-sedu Berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain ditempuh Salman Al-Farisi tanpa kenal lelah. Semata demi menyerap ilmu dari sang guru. Foto Pinterest Sampai saat gurunya yang terakhir menjelang maut berwasiat kepada Salman, “Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun yang akan aku perintahkan kamu mendatanginya untuk berguru. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. “Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!”. Meski terseok menempuh luasnya hamparan gurun bahkan sempat terpuruk sebagai budak, namun upayanya menemukan Nabi pembawa risalah kebenaran tak sia-sia. Dari Persia sampai di Madinah Salman akhirnya tersungkur mendekap Nabi saw dan masuk dalam pelukan Islam. Dengan serta merta Salman Al-Farisi menjadi bagian dari sahabat-sahabat Nabi. Mereguk manisnya persahabatan dari cangkir ukhuwah Islamiyah. Saling menolong dan menjaga. Tak segan mengutamakan sahabat ketimbang diri sendiri. Termasuk yang terjalin di antara Salman Al-Farisi dan Abu Darda’ dari Anshar. Dua orang yang dipersaudarakan di jalan Allah oleh Baginda Rasul saw. Dua sahabat seia- sekata. Sampai suatu ketika Salman dihadapkan pada peristiwa yang menguji keakraban mereka. Saat itu dalam diam Salman memendam getar rasa pada seorang wanita dari Anshar. Rasa yang mampu membuatnya resah nan gelisah tapi penuh asa. Getaran yang bila ia tak siaga kan bisa membawanya meniti jalan ke neraka. Ia paham hanya pernikahanlah satu-satunya jalan untuk menghalalkannya. Namun apa daya Salman Al-Farisi adalah pendatang di Madinah. Tentu bahasa menjadi kendala. Harus ada yang menolong sebagai perantara maksudnya. Yang bisa mengutarakan hajat dengan cita rasa Madinah. Salman sudah tahu siapa orangnya. Siapa lagi selain Abu Darda’. Saudaranya dari Anshar yang dia sayangi dan menyayanginya. Berangkatlah Salman dan Abu Darda’ meminang sang gadis. Mereka berjalan beriringan menuju rumah seorang wanita salihah lagi bertakwa. Di hadapan kedua orang tua si gadis, Abu Darda’ menyampaikan niat baik Salman. Layaknya pinangan maka jawaban dikembalikan pada si gadis. Berdegup jantung Salman Al-Farisi semakin cepat dalam penantian. Sampai akhirnya meluncur kata demi kata dari ibunda yang mewakili putrinya. “Maafkan kami atas keterusterangan ini. Dengan mengharap ridho Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda juga memiliki maksud yang sama, maka putri kami bersedia.” Nyesss… Hati Salman bagaikan tersiram air dingin. Beku. Masih berharap ia salah mendengar. Tak menyangka lamarannya ditolak. Sirnalah asa yang selama ini dipupuk. Salman pun terenyak dalam diam. Tapi tak lama. Kekukuhan imannya mampu membuat Salman tetap tegar berdiri. BACA JUGA Salman Al-Farisi Amir yang Sederhana Dan dengan bibir bergetar menahan luapan rasa, Salman Al-Farisi masih sempat berseru, “Allaahu Akbar!, Semua mahar dan harta yang aku persiapkan hari ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku menjadi saksi pernikahan kalian!” Betapa luas samudra hati Salman Al- Farisi. Kegagalan tak membuat ia jatuh terpuruk berlarut-larut. Apalagi di sisinya ada sahabat sejati yang beroleh kebahagiaan. Wajah Salman kembali berbinar ikut larut dalam kegembiraan saudaranya. Bahkan ketika Abu Darda’ berkata dengan gundah, “Aku riskan dan malu padamu atas terjadinya peristiwa ini. ” Salman Al-Farisi di tengah kesedihannya yang sunyi tetap mampu menghibur, “Aku lebih berhak untuk merasa malu denganmu ,di mana aku yang melamarnya ,sementara Allah memutuskannya untukmu.” []Suatuhari Salman Al Farisi menziarohi rumah Abu Darda. Kemudian Salman melihat Ummu Darda tidak rapih (Ini jaman belum disyariatkan Hijab sehingga Salman bisa masuk ke rumah Abi Darda walaupun Abu Darda tidak ada dirumah). Ketika Salman melihat Ummu Darda pakai pakaian tidak rapih semerawut. Salma heran, ada apa dengan engkau Ummu Darda..? kisahabu darda dan salman al-farisi grafik kunjungan pemirsa recent posts 3/recent/post-list bismillahirrahmanirrahim. blog ini berisi artikel-artikel dan video-video sirah nabawiyah dari website-website dan asatidzah yang bermanhaj salaf. artikel-artikelnya dapat di terjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, dengan memilihnya di menu 3Lk3.